Senin, 19 Februari 2018

Cat(C)atan Kecil

Dua puluh satu tahun sudah aku membagi nafasku dengan dunia, namun belum ada satupun yang menjadi jejak keberadaanku selain kesakitan. Sakit adalah cara terhebat untuk bisa mengerti tentang bagaimana lucunya ketika Tuhan mulai menyapa.
Tanah yang aku injak kini kian merapuh entah karena aku yang salah melangkah atau justru alam yang sedang bercerita. Oh, atau mungkin ia sedang dicurangi oleh nafas lain? Entahlah, kali ini aku benar-benar merasa jenuh dengan dunia dan keduniaan. Aku memang bukan seorang agamis yang mengatasnamakan kepercayaan demi keberadaan. Aku hanya mencoba menjadi aku yang merdeka seperti kata Ahes kepadaku beberapa tahun yang lalu.
Sebuah kebahagiaan tidak akan pernah kita dapatkan jika kita tidak mampu memilih atau hanya sekedar berpura-pura nyaman. Aku memutuskan untuk memperjuangkan kebahagiaanku sebagaimana aku mencari arti dari kehidupanku. Berusaha kemudian mencoba menelusuri pedihnya kenyataan teruntuk identitas yang aku sendiri masih selalu mempertanyakan “kenapa harus aku dengan diriku?” Kenapa bukan kebebasanku bersama bahagiaku?
Lagi, berjuta pertanyaan selalu hinggap mengelilingi kepalaku. Bahkan lebih menyeramkan dari pada kupu-kupu hitam yang menatapku dengan mata merahnya.
“pulanglah! Ia merindukanmu”
Sesekali terselip di antara jutaan tanya, kapan aku akan pulang untuk sekedar menjadi semacam orang lain di sekitar rumah. Mereka rindu, namun bukan denganku. Mereka rindu topengku. Fantasi lain mengenai diriku yang berusaha menyelaraskan agar bisa di terima.
“KELIRU” pikirku keras dalam hati.
“Jangan mencoba menjadi orang lain jika kamu hanya ingin diakui ada”
Aku memaki diriku sendiri setelah ternyata selama ini tidak ada yang benar-benar aku lakukan. Sepertiga usiaku tak lain selalu kuisi dengan beberapa kebohongan. Menganggap jika aku sudah berjalan semestinya, padahal masih berada di tempat yang sama.

Terlambat memang jika aku baru mampu menentukan apa yang jadi tujuanku. Selama bertahun-tahun memaksakan diri tenang dalam lingkaran aturan konyol. Tak diberi celah sedikitpun untuk mengintip asiknya bersenggama dengan alam. Kemudian aku mencuri kebebasanku sendiri. Mengendap menyusup melewati batas halusinasi yang dibuat oleh mereka.

Tidak ada komentar: